PUNCAK CIREMAI

PUNCAK CIREMAI

Selasa, 12 Juni 2012

Pengaruh Kondisi Lingkungan di Habitat Tepi Terhadap Tumbuhan dan Satwa


Pengaruh Kondisi Lingkungan di Habitat Tepi Terhadap Tumbuhan dan Satwa

PENDAHULUAN
Di negara berkembang terutama di daerah tropis, banyak kawasan hutan telah berubah fungsi menjadi daerah pertanian, perternakan, dan daerah pengembangan kota dalam kurun waktu beberapa dekade terakhir ini. Kawasan hutan yang semulanya utuh menjadi terpisah-pisah bahkan terisolasi sehingga terbentuk kelompok-kelompok kecil kawasan hutan. Proses terbentuknya kelompok-kecil kawasan hutan tersebut dapat dikategorikan sebagai fragmentasi habitat (Wilcove et al. 1986). Sayangnya, proses berubahnya fungsi hutan ini juga dapat ditemui di beberapa hutan alami yang telah ditunjuk sebagai kawasan konservasi seperti taman nasional, suaka marga satwa dan cagar alam.
Di Indonesia, proses berubahnya fungsi hutan di dalam kawasan konservasi melalui berbagai macam bentuk, misalnya pembangunan jalan, peminjaman atau pelepasan kawasan. Perubahan kawasan hutan menjadi areal dengan fungsi non-kehutanan di dalam kawasan konservasi memiliki dampak yang nyata bagi struktur vegetasi dan komposisi tumbuhan yang ada. Jenis-jenis pohon yang berada tepat di daerah yang akan dirubah fungsinya akan hilang dan sebagai akibatnya struktur vegetasi dan komposisi tumbuhan pun berubah. Perubahan ini pada akhirnya akan membentuk habitat tepi (habitat edge) (Murcia, 1995) atau yang dulu lebih dikenal dengan istilah ekoton (Ries et al. 2004). Kondisi lingkungan di habitat tepi memiliki karakteristik yang berbeda dengan kondisi lingkungan di dalam hutan. Kondisi yang berbeda ini akan memiliki dampak ekologis terhadap tumbuhan, hewan maupun organisme lain. Dampak dari bertemunya dua kondisi lingkungan yang berbeda tersebut terhadap tumbuhan dan hewan dapat di sebut efek tepi (edge effect) (Murcia, 1995).
Melalui tulisan ini penulis memaparkan beberapa kemungkinan pengaruh dari kondisi lingkungan di habitat tepi terhadap tumbuhan dan satwa. Paparan yang disajikan dalam tulisan ini di kembangkan dengan pendekatan studi pustaka.
KONSEP EFEK TEPI DAN KONDISI LINGKUNGANNYA
Istilah efek tepi pertama kali digunakan oleh Leopold (1933) dalam Ries et al. (2004) untuk menggambarkan kecenderungan peningkatan keragaman jenis di lanskap yang tidak utuh. Dengan banyak penemuan terkini yang mengungkapkan berbagai bentuk respon tumbuhan dan hewan serta organisme lain terhadap kondisi lingkungan di habitat tepi, konsep efek tepi telah berkembang. Respon tumbuhan dan hewan tidak hanya menunjukkan kecenderungan peningkatan keragaman jenis tetapi juga menunjukkan penurunan atau tanpa perubahan (Ries et al. 2004). Berdasarkan kecenderungan tersebut, Ries et al. (2004) membagi respon organisme menjadi tiga kelompok: respon positif jika parameter yang diamati seperti: kelimpahan dan keragaman jenis meningkat di habitat tepi; respon negatif jika ada kecenderungan penurunan dari parameter di habitat tepi yang diamati; dan respon netral bila tidak ada perbedaan nilai dari parameter yang diamati baik di habitat tepi maupun di dalam hutan.
Habitat tepi terbentuk jika suatu wilayah kawasan hutan diubah fungsinya untu non-kehutanan, seperti: jalan atau areal pemukiman. Salah satu konsekuensi dari perubahan fungsi kawasan tersebut adalah perubahan kondisi lingkungan. Murcia (1995) menandaskan bahwa perubahan kondisi mikro lingkungan ini disebabkan oleh perubahan struktur komposisi dan vegetasi di habitat tepi. Sejumlah penelitian membuktikan efek tepi terhadap parameter lingkungan, seperti: intensitas cahaya, suhu udara, kelembapan udara dan tanah (Chen et al. 1993; Matlack, 1993; Young dan Mitchell 1994; Jose et al. 1996; Didham dan Lawton 1999; Davies-Colley et al. 2000; Dignan dan Bren 2003). Perbedaan intensitas cahaya dan suhu udara, pada khususnya, terjadi pada beberapa jarak dari tepi hutan, tergantung pada arah hadapan tepi hutan dan struktur vegetasi di habitat tepi (Murcia, 1995). Matlack (1993) membuktikan bahwa intensitas cahaya dan suhu udara berkurang seiring dengan bertambahnya jarak dari tepi hutan yang menghadap ke timur, barat dan selatan di hutan Pennsylvania dan Delaware, USA
Walaupun penelitian tersebut membuktikan pengaruh negatif tepi hutan terhadap parameter lingkungan, namun beberapa penelitian di daerah tropis menunjukkan hasil yang berbeda. Turton dan Freiburger (1997), misalnya, menemukan efek tepi yang tidak nyata terhadap kondisi mikro lingkungan di hutan tropis di Atherton Tableland, Australia. Penelitian lain oleh Camargo dan Kapos (1995) melaporkan kompleksitas efek tepi terhadap kelembaban tanah di hutan tropis Amazon. Murcia (1995) menyebutkan bahwa perbedaan hasil dan interpretasi dari penelitian efek tepi mungkin disebabkan oleh penerapan metodologi yang tidak seragam, perancangan percobaan yang tidak memadai dan kemungkinan adanya respon spesifik dari tiap lokasi penelitian.
PENGARUH KONDISI LINGKUNGAN DI HABITAT TEPI
Dampak ekologis kondisi lingkungan di habitat tepi terhadap tumbuhan dan hewan telah banyak diteliti sejak lama. Hasil kajian dari para pakar menunjukkan temuan yang berbeda-beda. Pada umumnya, respon tumbuhan dan hewan terbagi menjadi tiga golongan: positif, netral dan negatif. Murcia (1995) berpendapat bahwa variasi respon ini mungkin sebabkan oleh beberapa faktor yang telah disebutkan di atas, seperti: penggunaan metodologi yang tidak sama.
Walaupun ada kemungkinan pengaruh positif dari habitat tepi, Primack (2004) menyebutkan bahwa organisme yang sensitif terhadap perubahan kondisi lingkungan di habitat tepi memiliki kemungkinan untuk punah. Penelitian pada tumbuhan, menunjukkan penurunan kelimpahan jenis pohon yang memiliki diameter batang yang besar di hutan semi-arid Argentina (Casenave et al. 1995). Hylander (2005) dalam penelitiannya juga menemukan bukti penurunan tingkat pertumbuhan lumut (Bryophyta) yang ditumbuhkan di dalam pot yang diletakkan pada beberapa jarak dari tepi hutan boreal di Swedia. Efek tepi juga memiliki pengaruh negatif terhadap perkembangan dan kemelimpahan biji tumbuhan herba Trillium camschatcense Ker Gawler di salah satu hutan di Hokaido, Jepang (Tomimatsu dan Ohara 2004). Selain ketiga penelitian tersebut, Cadenasso dan Pickett (2000) melaporkan kecenderungan kerusakan anakan pohon akibat herbivori (aktivitas satwa yang memakan bagian tumbuhan) di tepi hutan di New York, USA.
Dampak negatif serupa juga dijumpai pada hewan. Kajian tentang efek tepi terhadap herpetofauna (reptil and amfibi) di Madagaskar menunjukkan bahwa kelompok hewan tersebut terpengaruh oleh perubahan kondisi lingkungan di habitat tepi (Lehtinen et al. 2003). Lehtinen et al. (2003) menyebutkan bahwa sensitifitas jenis hewan tertentu terhadap kondisi lingkungan di habitat tepi memiliki hubungan dengan ancaman kepunahan jenis hewan tersebut. Penelitian lain di Uganda melaporkan tingginya kerusakan lahan pertanian yang berbatasan dengan tepi hutan akibat aktivitas monyet liar (Saj et al. 2001).
IMPLIKASI TERHADAP KONSERVASI
Mengingat dampak dari terbentuknya habitat tepi, ada dua pilihan strategi yang harus diambil untuk menjaga keanekaragaman hayati di habitat yang mengalami fragmentasi (Matlack dan Litvaitis 1999). Pertama, pengelola kawasan konservasi tidak mengijinkan perubahan dalam bentuk apapun terhadap kawasan konservasi. Langkah ini akan melindungi semua jenis tumbuhan dan hewan yang ada. Kedua, kebijakan dalam penetapan perubahan status kawasan hutan harus mengikuti prosedur yang ketat dengan mempertimbangkan segala kemungkinan dampak negatifnya terhadap ekosistem yang ada di dalam hutan. Walaupun pilihan kedua ini mungkin dilakukan, penulis tidak menganjurkan penerapan strategi ini. Hal ini dikarenakan adanya kemungkinan kesulitan bagi pengelola kawasan konservasi untuk mengantisipasi pengaruh negatif lain yang dipicu oleh perubahan status kawasan hutan di dalam kawasan konservasi, misalnya memberikan akses jalan bagi pemburu, perambah hutan atau penebang liar.
Paling tidak ada dua hal yang harus dipertimbangkan jika strategi kedua ingin diterapkan. Pertama, pembentukan fragmen hutan (kelompok tutupan hutan yang dipisahkan oleh suatu wilayah yang tidak berhutan, seperti jalan, daerah pemukiman, dll.) yang berukuran kecil harus dihindari. Hal ini dikarenakan adanya kemungkinan bertambahnya intensitas dari efek tepi terhadap tumbuhan dan hewan, dan pada akhirnya menyebabkan berkurangnya habitat bagi jenis tumbuhan dan hewan yang sensitif terhadap kondisi lingkungan di habitat tepi. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan negatif antara luas fragmen hutan dengan keanekaragaman dan kelimpahan jenis tumbuhan (Benitez-Malvido dan Martinez-Ramos 2003; Zartman 2003) dan hewan (Rogo dan Odulaja 2001; Harcourt dan Doherty 2005). Seberapa kecil fragmen hutan yang dapat menunjang keanekaragaman hayati tergantung jenis tumbuhan atau hewan yang sensitif terhadap perubahan kondisi lingkungan. Penelitian oleh Zartman (2003) membuktikan bahwa fragmen hutan yang kurang dari 10 hektar berpengaruh negatif terhadap kemelimpahan jenis lumut epifil (tumbuh di daun) dibandingkan fragmen hutan yang berukuran 100 hektar.
Hal lain yang perlu diperhatikan dalam penetapan perubahan status hutan di dalam kawasan konservasi adalah bentuk dari fragmen hutan yang tersisa. Williams dan Pearson (1997) membuktikan adanya pengaruh bentuk fragmen hutan terhadap vertebrata (hewan bertulang belakang) endemik di bioregion Wet Tropics, Australia. Pengaruh bentuk ini terjadi jika fragmen hutan memiliki bentuk yang tidak beraturan dan daerah yang tidak terkena efek tepi berukuran kecil.


KESIMPULAN DAN SARAN
Luas tutupan hutan di daerah tropis semakin berkurang tiap tahunnya. Sayangnya, proses ini juga terjadi di kawasan konservasi seperti taman nasional, suaka marga satwa dan cagar alam. Hal ini menyebabkan terjadinya peningkatan pembentukan habitat tepi. Kondisi lingkungan di habitat tepi, seperti peningkatan intensitas cahaya dan penurunan kelembapan udara, akan mempengaruhi jenis tumbuhan dan hewan yang sensitif terhadap perubahan kondisi lingkungan tersebut. Dikarenakan adanya kemungkinan dampak negatif perubahan kondisi lingkungan di habitat tepi, pengelola kawasan konservasi perlu mempertimbangkan beberapa hal, seperti perubahan bentuk fragmen hutan dan luasan minimum untuk fragmen hutan guna mengantisipasi dampak negatif tersebut.











DAFTAR PUSTAKA
Benitez-Malvido, J. and M. Martinez-Ramos. 2003. “Impact of forest fragmentation on understory plant species richness in Amazonia.” Conservation Biology 17: 389-400.
Cadenasso, M. L. and S. T. A. Pickett. 2000. “Lingking forest edge structure to edge function: mediation of herbivore damage.” Journal of Ecology 88: 31-44.
Camargo, J. L. C. and V. Kapos. 1995. “Complex edge effects on soil moisture and microclimate in central Amazonian forest.” Journal of Tropical Ecology 11: 205-221.
Casenave, J., J. Pelotto and J. Protomastro. 1995. “Edge-interior differences in vegetation structure and composition in a Chaco semi-arid forest, Argentina.” Forest Ecology and Management 72: 61-69.
Chen, J., J. F. Franklin and T. A. Spies. 1993. “Contrasting microclimates among clearcut, edge, and interior of old-growth Douglas-fir forest.” Agricultural and Forest Meteorology 63: 219-237.
Davies-Colley, R. J., G. W. Payne and M. van Elswijk. 2000. “Microclimate gradient across a forest edge ” New Zealand Journal of Ecology 24(2): 111-121.
Didham, R. K. and J. H. Lawton. 1999. “Edge structure determines the magnitude of changes in microclimate and vegetation structure in tropical forest fragments.” Biotropica 31(1): 17-30.
Dignan, P. and L. Bren. 2003. “Modelling light penetration edge effects for stream buffer design in mountain ash forest in southern Australia.” Forest Ecology and Management 179: 95-106.
Harcourt, A. H. and D. A. Doherty. 2005. “Species–area relationships of primates in tropical forest fragments: a global analysis.” Journal of Applied Ecology 42: 630-637.
Hylander, K. 2005. “Aspect modifies the magnitude of edge effects on bryophyte growth in boreal forests.” Journal of Applied Ecology 42: 518-525.
Jose, S., A. R. Gillespie, S. J. George and B. M. Kumar. 1996. “Vegetation responses along edge-to-interior gradients in a high altitude tropical forest in peninsular India.” Forest Ecology and Management 87: 51-62.
Laurance, W. F. and E. Yensen. 1991. “Predicting the impacts of edge effects in fragmented habitats.” Biological Conservation 55: 77-92.
Lehtinen, R. M., J.-B. Ramanamanjato and J. G. Raveloarison. 2003. “Edge effects and extinction proneness in a herpetofauna from Madagascar.” Biodiversity and Conservation 12: 1357-1370.
Matlack, G. R. 1993. “Microenvironment variation within and among forst edge sites in the eastern United States.” Biological Conservation 66: 185-194.
Matlack, G. R. and J. A. Litvaitis. 1999. Forest edges. Maintaining biodiversity in forest ecosystems. M. L. Hunter. Cambridge, Cambridge University Press: 210-233.
Murcia, C. 1995. “Edge effects in fragmented forests: implications for conservation.” Trends in Ecology and Evolution 10: 58-62.
Primack, R. B. 2004. A primer of conservation biology. Sunderland, U.S.A, Sinauer Associates, Inc.
Ries, L., R. J. Flethcher, J. Battin and T. D. Sisk. 2004. “Ecological responses to habitat edges: Mechanisms, models, and variability explained.” Annual Review of Ecology, Evolution, and Systematics 35: 491-522.
Rogo, L. and A. Odulaja. 2001. “Butterfly populations in two forest fragments at the Kenya coast.” African Journal of Ecology 39: 266-275.
Saj, T. L., P. Sicotte and J. D. Paterson. 2001. “The conflict between vervet monkeys and farmers at the forest edge in Entebbe, Uganda.” African Journal of Ecology 39: 195-199.
Tomimatsu, H. and M. Ohara. 2004. “Edge effects on recruitment of Trillium camschatcense in small forest fragments.” Biological Conservation 117: 509-519.
Turton, S. M. and H. J. Freiburger. 1997. Edge and aspect effects on the microclimate of a small tropical forest remnant on the Atherton Tableland, Northeastern Australia. Tropical forest remnants: ecology, management and conservation of fragmented communities. W. F. Laurance and R. O. Bierregaard. Chicago, The University of Chicago Press: 45-54.
Wilcove, D. S., C. H. McLellan and A. P. Dobson. 1986. Habitat fragmentation in the temperate zone. Conservation Biology. M. Soul´e. Sunderland, MA, Sinauer: 237–56.
Williams, S. E. and R. G. Pearson. 1997. “Historical rainforest contractions, localized extinctions and patterns of vertebrate endemism in the rainforests of Australia’s wet tropics.” Proceeding Royal Society London B 264: 709-716.
Young, A. and N. Mitchell. 1994. “Microclimate and vegetation edge effects in a fragmented podocarp-broadleaf forest in New Zealand.” Biological Conservation 67: 63-72.
Zartman, C. E. 2003. “Habitat fragmentation impacts on epiphyllous bryophyte communities in central Amazonia.” Ecology 84: 948-954.
* Tulisan ini telah dimuat di Wana Tropika Volume 4 No. 1/September 2010 (Warta Pusat Litbang Hutan dan Konservasi Alam, Kementerian Kehutanan)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar