PUNCAK CIREMAI

PUNCAK CIREMAI

Minggu, 21 September 2014

MILAN SEBAGAI "KOPERASI" SIMPAN PINJAM (PEMAIN)

MILAN SEBAGAI "KOPERASI" SIMPAN PINJAM (PEMAIN)
Siapa raksasa sebenarnya di Italia? Ini debat yang bisa mengeraskan urat leher fans AC Milan dan Juventus. Masing- masing punya kebanggaannya sendiri: Juventus tim dengan trofi Serie A terbanyak, Milan tim Italia dengan koleksi gelar Eropa yang paling mentereng.

Juventus memang mampu menguasai liga domestik. Hampir 30% kompetisi lokal yang telah berumur lebih dari satu abad mereka rengkuh dengan angkuh. Namun ketika mencoba menaklukan Eropa, mereka selalu gagal. Sementara "gen penakluk Eropa", atau DNA dalam klaim CEO Milan Adriano Galliani, mengalir deras di urat nadi AC Milan. Tujuh gelar Liga Champions menobatkan mereka jadi perengkuh terbanyak setelah Real Madrid, menegaskan hegemoni Italia di seluruh tanah Eropa.

Catatan khusus bagi Milan, kejayaan mereka di Eropa seringkali diingat sebagai wewangian yang berdampak pada meroketnya gengsi Serie-A. Il Campionato piu bello del mondo – Liga paling indah di dunia, begitu puji banyak orang. Kejayaan Milan di akhir dekade 80-an hingga pertengahan era 90-an, menjadi pemantik kenapa Italia didapuk jadi pemilik liga terbaik dunia. Sorotan seantero penduduk bumi pecinta sepakbola tertuju padanya.

Bintang-bintang ternama berebutan untuk bermain di Serie- A. Semua itu terjadi saat Milan sedang berjaya. Dalam soal industrialisasi sepakbola, dunia dan Italia meski berterima kasih kepada AC Milan, bukan pada Juventus atau Liga Inggris. Milan mesti disebut tiap kali mencoba melacak asal- muasal sepakbola bisa menjadi permainan global yang menyihir – terutama – melalui televisi. Revolusi yang dilakukan Silvio Berlusconi di akhir dekade 80-an, membuat Milan bukan hanya semata klub sepakbola belaka. Tapi jadi sebuah merk yang bisa dikeruk secara ekonomi ataupun demi pencitraan politik.

Inovasi-inovasi yang dilakukannya jadi salah satu prototype bagaimana mengelola klub untuk meneguk keuntungan di masa kini. Tiket musiman, pengelolaan media resmi, marketing, hak siar tv, hingga manajemen keuangan yang dikelola secara professional diperlihatkan dengan maksimal oleh di AC Milan sejak diambilalih Berlusconi. Dan sukses besar. Ya Milan adalah raksasa. Milan adalah panutan. Menghadapinya akan memunculkan ketakutan.

Tapi itu dulu. Itu masa lalu. Orang biasanya tak tertarik dengan masa lalu. Karena itulah masa lalu memang sering dilupakan. Sekarang, orang dan pribadi Milan sendiri menemukan diri mereka di Serie A sebagai tim yang biasa- biasa saja. Prestasi mereka akhir- akhir ini, semenjak tahun 2011, selalu menukik tajam dari tahun ke tahun.

Milan memang memiliki gen Liga Champions, sayang gen itu tak akan berguna di musim ini. Mereka tak bisa tampil di pentas Eropa. Jangankan Liga Champions, bahkan kasta kedua Liga Eropa pun gagal mereka ikuti karena jeblok di kompetisi domestik.

"Ini adalah siklus yang mengerikan. Untuk membangun sejarah besar dengan puluhan piala yang kami raih tidaklah mudah dan butuh perjuangan yang berat. Melihat semua itu hancur lebur seketika membuat saya gila," ucap Paolo Maldini, mantan kapten AC Milan.

Meminjam Pemain sebagai Tren Keruntuhan itu tak hanya soal prestasi semata. Ingat, prestasi Milan tak bisa dilepaskan dari tiga pilar yang menopang kerajaan bola Berlusconi ini: media, politik dan finansial. Ketiganya kini oleng dan nyaris ambruk.

Sebuah tren yang melekat dengan Milan kini adalah kegemaran mereka yang dengan gigih berusaha membangun skuat dari pemain pinjaman. Tren dimulai sejak lima tahun lalu. Nama-nama beken seperti Zlatan Ibrahimovic, Kevin Prince Boateng, Philippe Mexes, Sulley Ali Muntari, Ricardo Montolivo, Roberto Aquilani, Ricardo Kaka, dan masih banyak nama-nama lainnya didatangkan dalam status sebagai pemain pinjaman. Sebenarnya tak semua pemain yang mereka rekrut didapat dengan gratisan dan pinjaman.

Banyak juga yang didatangkan dengan kesepakatan uang yang nominalnya cukup menggiurkan. Mario Balotelli, Nigel De Jong, Stephan El Sharaawi, Cristian Zapata, Robinho, Alessandro Matri, dan Andrea Poli, misalnya. Hanya saja pada bursa musim ini mungkin adalah puncak tren meminjam pemain dalam sejarah AC Milan. Bagaimana tidak, dari 28 skuat Milan musim ini, 18 pemain didapat secara gratisan/ pinjaman dan tujuh di antaranya adalah pemain baru termasuk Fernando Torres dan Marco Van Ginkel.

Berdasarkan data transfermarkt, dari 10 pemain baru yang datang musim ini, Milan hanya merogoh kocek 11 juta euro, angka terbesar diperuntukan untuk menikung Giacomo Bonaventura yang sebelumnya diincar Inter Milan. Di detik-detik akhir bursa mercato (transfer) akan ditutup, Milany sepakat menggaetnya dengan
angka 6 juta euro. Total transfer musim ini merupakan nominal terkecil dalam 10 musim terakhir bagi tim yang bermarkas di San Siro ini. Terakhir kali mereka beririt-irit terjadi pada musim 2004/2005, saat hanya
mendatangkan seorang pemain yakni Jaap Stam dari Lazio dengan mahar 9 juta euro.

Tentu saja kita tak bisa menyamakan Milan di masa itu dengan sekarang. Di bawah asuhan Carlo Ancelotti saat itu, Milan masih jauh dari status keropos. Saat itu kedalaman skuat cukup memadai, sehingga wajar jika memilih tak banyak mendatangkan pemain pemain mahal. Kedatangan Jaap Stam sudahlah cukup bagi mereka.

●Kerugian yang Membuat AC Milan Jadi AC Miloan
Kegigihan Milan dimusim ini kadang membuat orang gemas. Banyak di antara Milanisti sendiri kesal dan menutup muka sendiri. Pemain yang selalu mereka incar selalu diupayakan didapat semurah dan segratis mungkin. Setelah mendatangkan Fernando Torres dan Marco Van Ginkel, rencananya Desember nanti Milan
keukeuh ingin mendatangkan pemain Liverpool, Suso. Tentu saja dengan sistem meminjam.

Ejekan satire yang memelesetkan AC Milan menjadi AC Mi(loan) muncul di beberapa forum dan media sosial. Baru-baru ini saat Milan berupaya mendatangkan Kostas Manolas bek muda Olimpiakos, jurnalis kenamaan Italia, Tancredi Palmeri, menyindir Milan yang kukuh ingin memakai jasa Manolas dengan sistem pinjam. "Milan tak bisa mencapai kesepakatan dengan Manolas karena pemain ini enggan mengubah namanya menjadi 'Kostas On-loan-as'," sindir Palmeri.

Kendati seret prestasi dan keuangan, sialnya beberapa pemain bintang mau bergabung secara sukarela dan cuma-cuma karena Milan punya nama besar. Itulah yang menjadi daya tarik terbesar dari AC Milan yang masih coba dimanfaatkan, dan untuk sejumlah kasus itu ternyata masih efektif. Karena itu meski rata-rata pemain Milan adalah gratisan, secara kualitas dan kapabilitas, pemain- pemain yang mereka miliki punya daya saing yang besar dengan tim-tim Eropa lainnya. Cara mendapatkan pemain-pemain bintang itulah yang kadang orang tak suka. Ingin berjaya tapi tak ingin keluar biaya. Salahkah? tentu tidak juga. Selain ejekan, toh banyak juga yang memuji kebijakan transfer mereka. Saya yakin kebijakan Adriano Galliani mutlak karena kondisi yang memang memaksanya begitu. Ini semacam cara atau siasat untuk bertahan dengan menggunakan cara yang cerdik dan logis.

Sejak tahun 2007, dalam laporan keuangannya, rekening yang Milan laporkan bukan semata rekening klub, melainkan rekening perusahaan grup Milan di mana Milan Entertaiment dan Milan Real Estate tergabung di dalamnya. Ada kecenderungan, keuntungan mereka memang fluktuatif. Namun siapa sangka, di balik keuntungan yang sebenarnya cukup besar tersebut, Milan bermasalah dengan pengeluaran yang kadang lebih besar pasak daripada tiang. Selama dua tahun berturut-turut mereka membuat hutang baru hampir 150 juta euro. Besarnya beban ini tak lain berkat gaji pemain yang terlalu tinggi. Seperti diketahui akibat manajemen yang buruk, hampir 70% anggaran tersedot untuk gaji pemain. Karena itulah semenjak tahun 2012, Milan melakukan cuci gudang. Salah satu di antaranya menjual Ibrahimovic dan Thiago Silva ke PSG.

Sebuah catatan menarik mengingat saat dijual ke PSG pemain ini dibandrol 20 juta euro, padahal saat dipatenkan Milan dari Barcelona menghabiskan dana 25 juta euro. Gaji Ibra yang terlalu tinggi berkisar 9 juta euro pertahun membuat Milan rela melepasnya. Di musim itu Milan melego hampir separuh pemainnya, membuat mereka untung 90 juta euro.

Kebijakan Milan yang mendatangkan pemain-pemain gratisan membuat pengeluaran mereka terus berkurang setiap tahunnya. Dan puncaknya terjadi musim ini. Kenapa hal itu bisa terjadi? Jawabannya tentu adalah kegagalan mereka lolos ke Liga Champions.

Pada tiap musimnya, Milan setidaknya mampu meneguk untung dari hak siar Liga Champions mencapai 30-50 juta euro. Sikap hemat yang mereka lakukan pada bursa transfer kali ini tak ayal untuk meminimalisir kerugian.

Penjualan tiga pilar penting musim lalu yakni Balotelli, Kevin Constant dan Bryan Christante mampu membuat selisih netspend Milan untung sampai 18 juta euro. Modal yang [cukup atau tidak cukup] mesti digunakan untuk mengarungi Serie A.

Semua Senang, Semua Untung Kebijakan finansial Milan ini adalah terobosan terbaru agar nama besar klub tetap terjaga. Meski kere, toh buktinya mereka bisa mendatangkan banyak pemain bintang. Milan sebenarnya bisa saja membeli pemain kelas dua atau memberikan kesempatan luas pada pemain binaan mereka sendiri. Tapi toh itu bukan pilihan.

Sebangkrut apapun mereka, kehormatan klub mesti tetap terjaga, nama harum Milan mesti tetap dirawat, salah satunya dengan memainkan pemain- pemain kelas satu. Sememble apa pun Torres di depan gawang, Torres tetaplah Torres. Dia masih punya nama. Pergeseran makna daya tawar "beli cash" yang kini berubah menjadi "pinjam" nyatanya tetap saja membuat banyak klub takluk dan terpikat.

Dengan kelihaian Galliani yang diakui sebagai guru dalam urusan negosiasi dan lobi, Milan dengan baik mengendus berbagai peluang yang terjadi di klub-klub lain. Kehadiran Milan tentu adalah solusi bagi klub-klub yang ingin mempertahankan pemainnya tapi tak sanggup untuk menggajinya. Maka cerita tentang Milan yang getol meminjam tak lagi hanya tentang Milan yang sedang berhemat, tapi juga soal bagaimana menyikapi secara cerdik situasi yang berlangsung di klub lain. Sampai batas tertentu, Milan bahkan bisa dibilang sebagai juru selamat: bagi klub lain yang ingin berbagi beban gaji seorang bintang, juga bagi pemain yang ingin memperbaiki nasib sembari tetap menjaga "nama besar" dengan bermain di klub yang juga (setidaknya pernah) punya "nama besar".

Sempat muncul satire tentang Milan yang kini seperti sebuah "koperasi simpan pinjam". Memangnya kenapa dengan "koperasi simpan pinjam"? Sebagaimana fiil koperasi, prinsipnya mesti sama-sama menuai berkah. Yang menyimpan dapat manfaat, yang meminjam bisa menarik faedah.

Jika dulu Milan memperlihatkan cara bagaimana membangun klub agar kaya dan populer dengan penuh gaya, kini Milan sedang mencoba sebuah jalan baru, cara baru, yang untuk situasi kini bisalah dianggap sebagai cara yang logis dan paling realistis.

Akan menjadi metode bertahan hidup yang bakal dikenang jika dengan cara seperti ini, dengan menjadi "koperasi simpan pinjam" ini, Milan berhasil merengkuh capaian yang maksimal, paling tidak kembali ke Liga Champions untuk mereguk pemasukan yang lebih besar.

Jika itu terjadi, percayalah, akan banyak klub-klub lain yang boleh jadi akan kembali menoleh pada Milan sebagai jalan keluar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar